Film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya
Katanya, film ini baru akan diputar secara serentak di
semua bioskop pada 20 September 2012. Saya beruntung, bisa menontonnya lebih
dulu daripada penonton bioskop yang lain (maklum wartawan). Hmm, mulai dari
mana ya. Mungkin dari sinopsis-nya dulu deh.
Film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, adalah film yang disutradarai oleh Viva Westi dan dibintangi oleh Tio Pakusadewo dan Titi Sjuman. Naskah skenario ditulis oleh Emha Ainun Nadjib dan Viva Westi. Film ini berkisah tentang seorang diva Indonesia bernama Rayya (diperankan Titi Sjuman) yang mengaku dirinya bisa menaklukkan ratusan lelaki di bawah kakinya. Tapi ia lebih memilih lelaki biasa, seorang pilot, yang menurutnya jauh dari dunia gemerlap ibu kota. Namun lelaki itu ternyata tidak memilihnya menjadi perempuan nomor satu. Patah hati, Rayya justru bertemu seorang fotografer bernama Arya (diperankan oleh Tio Pakusadewo). Perjalanan mereka selama beberapa hari untuk kepentingan pemotretan buku biografi Rayya, justru membuat keduanya saling mengenal satu sama lain, saling berbagi kisah masa lalu. Apakah mereka akhirnya bersatu? Silakan tonton sendiri.
Menonton film ini, kesan saya pribadi : bosan, bingung,
dan ga dapat “feel”-nya. Sorry to say and no offense untuk semua yang sudah bekerja
keras dibalik film ini, tapi jujur saya kecewa setelah menontonnya. Mengapa?
Pertama, bosan. Alur film ini terlalu lama dengan konflik
yang kurang. Film ini kebanyakan menggambarkan perjalanan Rayya dan Arya selama
pemotretan untuk buku biografi. Keduanya sama-sama sedang patah hati. Tapi
konflik yang membuat mereka berdua patah hati itu tidak ditonjolkan. Film ini
berfokus pada penderitaan Rayya (yang menurut saya terlalu didramatisir tanpa
fakta yang jelas, mengapa dia harus menjerit-jerit, menangis tiba-tiba). Saya
jadi menonton film dengan teriakan-teriakan Titi Sjuman yang menurut saya :
annoying. Sedangkan jika dibandingkan film Fiksi yang dibintangi oleh Ladya
Cheryl, film Fiksi jauh lebih bisa menyentuh rasa. Padahal Ladya sama sekali
tidak menangis atau berteriak-teriak. Diamnya Ladya yang memerankan Alisha,
seorang perempuan psikopat yang jatuh cinta. Tokoh Alisha juga patah hati, tapi
tidak teriak-teriak merusak keindahan film.
Tak heran, film Fiksi dinominasikan untuk sepuluh penghargaan dalam FFI 2008, memenangkan empat penghargaan, antara lain untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Mouly surya), Skenario Asli Terbaik (Joko Anwar), dan Musik Pengiring Terbaik (Zeke Khaseli). Film ini dirilis dalam format DVD pada tanggal 2 Desember 2008. Film ini juga mendapatkan penghargaan film terbaik dalam JiFFest 2008 untuk Sutradara Terbaik (Mouly surya).
Sedangkan Film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya justru
membuat saya tak hanya bosan, tapi juga bingung. Ini hal kedua yang akan saya
bahas. Mengapa bingung? Mungkin karena skenario film ini ditulis oleh budayawan
sekelas Emha Ainun Nadjib, sehingga banyak kata-kata yang tidak saya mengerti
bertebaran di sepanjang film ini. Pesan moral dalam film ini bisa saya tangkap
dari perjalanan Rayya bertemu banyak orang tidak beruntung namun bahagia dengan
kehidupannya. Sedangkan dirinya sendiri, bergelimang harta dan popularitas,
namun tak bisa bahagia. Pesan moral itu saya tangkap, dari adegan-adegan Rayya
bertemu dengan orang-orang itu, di luar kata-kata yang terus diucapkan Rayya
sepanjang film. Menurut saya, jika film itu bisu, saya malah bisa membaca
“message” di dalam filmnya dibandingkan harus mendengarkan kecerewetan Rayya
yang mengganggu.
Ketiga, “feel”-nya ga dapet. Rayya dan Arya sama-sama
patah hati. Tapi saya sama sekali tidak sedih dengan patah hati mereka. Padahal
saya termasuk orang yang “cengeng” kalau nonton film dan mudah menangis. Bukan
akting Titi dan Tio yang kurang bagus, tapi memang konflik film ini tidak
menonjol. Satu-satunya yang membuat saya “agak” tersentuh hanya adegan saat Tio
menandatangani surat cerai dari istrinya dan harus meninggalkan anaknya. Jujur,
akting Tio memang bagus di film ini (dan memang dia selalu bagus di semua film
yang dibintanginya). Sehingga, film ini masih terselamatkan oleh karisma
seorang Tio Pakusadewo.
Ya, maaf. Saya masih terlalu kagum dengan Film “Fiksi”
sehingga untuk Film “Rayya, Cahaya di Atas Cahaya”, boleh dibilang saya kecewa.
Sayang sekali jika pesan moral yang ingin ditonjolkan dalam film ini justru
tidak bisa dicerna penonton karena terganggu dengan karakter Rayya yang hobi
teriak-teriak sepanjang film. Justru, pesan moral film ini bisa saya pahami
dari akun twitter @filmrayya dan akun twitter @akuRayya dimana kata-kata
tertulis dengan jelas dan lugas.
Jangan percaya review saya. Selera film kita bisa saja berbeda. Jadi, silakan nonton sendiri dan mari kita diskusi :)
Comments
tidak apa-apa jika Anda berbeda pendapat dengan saya mas dolly indra. feel free :)