Cinta Pertama
Aku merindukan saat-saat bersatu denganmu
Saat yang amat hangat, dimana detak jantungmu
adalah hidupku
Aku merindukan tetes-tetes air yang segar
Saat aku bersandar di dadamu untuk melepas
dahaga
Aku merindukan belai lembut di helai rambutku
Saat kurebahkan kepala di pahamu yang lembut
Rindu ini bergemuruh tak dapat kuredam
Tangisku, hanya senyum dan pelukmu yang bisa
redakan
Suara
ponselku memanggil-manggil. Deringnya memaksaku terbangun meski kepala masih
terasa berat akibat kurang tidur semalam. Rasanya di luar masih gelap. Tapi
dering ponsel tak mau kompromi.
“Bunga,
lagi dimana sayang?”
“Mama?
Ada apa, ma?” tanyaku setengah terkejut. Saat memaksakan bangun, kepalaku
terasa berat dan sakit. Akhirnya kepala dan bantal tetap kubiarkan bersatu.
Pagi memang masih terlalu pagi.
“Cuma
mau nanya, Bunga lagi dimana?”
“Di
kosan, ma,”
“Mama
boleh ke kosanmu, ga, sayang?”
“Aduh
ma, aku lagi banyak kerjaan. Jadi weekend
ini aku harus menyelesaikan pekerjaan di kosan. Mama jangan ganggu dulu ya?”
“Ya
sudah, kapan-kapan lagi saja. Baik-baik ya, sayang,” ujar mama. Beberapa detik
setelahnya, mama mengakhiri panggilan telepon.
Entah
sudah ke berapa kalinya mama menelepon bulan ini dan bertanya kapan ia bisa
datang dan menginap di kosanku. Aku dan mama memang berbeda kota. Aku harus
jauh dari rumah orang tuaku di Garut karena harus bekerja di Jakarta. Tapi aku
sudah jadi anak kos sejak kuliah di Bandung, jadi memang sudah terbiasa jauh
dari orang tua. Orang tuaku pun sudah terbiasa jauh dariku. Bahkan, saat kuliah,
mama sering datang tanpa memberi tahu. Tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar
kosan. Tapi sejak bekerja, mama tahu aku sangat sibuk sehingga jarang berada di
rumah. Itulah sebabnya mama selalu memberi tahu dan bertanya apakah aku bisa
dikunjungi.
Bukannya
tidak rindu. Aku rindu setengah mati sama mama. Tapi ada saat-saat dimana aku
enggan bertemu dengan siapapun, termasuk
mama. Bahkan, dengan teman kosan pun aku lebih banyak diam. Sehari-hari
sepulang kerja, aku lebih suka berdiam diri di dalam kamar, daripada berkumpul
bersama mereka hingga larut malam. Satu bulan terakhir ini, aku memang sedang
mengalami masalah percintaan yang cukup berat dengan kekasihku, Farhan, sehingga
membuat pekerjaanku terlantar, dan hidupku berantakan.
Setelah
dua tahun berpacaran, aku baru tahu Farhan ternyata orang yang kasar. Setelah
ketahuan selingkuh, dia malah memukuli aku yang berusaha meminta penjelasan
atas perselingkuhan itu. Tadi malam adalah malam kesekian, tubuhku menjadi
sasaran amarahnya. Kepalaku terutama, menjadi sasaran empuk yang ia hantamkan
ke jendela mobilnya.
Semalam
aku pulang dalam keadaan remuk. Badan dan juga hati. Sesampainya di kosan, aku
tertidur tanpa sempat berganti baju, apalagi cuci muka. Kepalaku sakit,
sehingga tidur mungkin adalah satu-satunya yang diinginkan tubuhku untuk
menyembuhkan diri sendiri. Maka, jika pagi ini mama meminta izin untuk datang
ke kosan, aku betul-betul tidak sanggup melihatnya ikut bersedih karena
mengetahui keadaanku. Meski ingin sekali aku menangis di pangkuannya,
mengadukan semua perlakuan Ferdi padaku, seperti saat kecil dulu aku sering
mengadu pada mama jika ada yang usil padaku di sekolah.
Tapi
aku lebih memilih menyembuhkan diriku sendiri dulu, sampai aku siap bertemu
mama, dan menceritakan semuanya tanpa membuat mama shock. Atau, mungkin lebih baik mama tidak pernah tahu cerita ini,
agar hidupnya tenang, tanpa pernah tahu penderitaan yang dialami puterinya ini.
Aku
membenamkan kepala di bawah bantal, menangis sejadinya. Aku sangat merindukan
mama …
***
Satu
minggu kemudian,
Akhirnya
keputusan itu tiba. Setelah satu bulan mengalami kekerasan berulang-ulang, aku
memilih untuk meninggalkan Farhan. Mendengar keputusanku, Farhan makin naik
pitam dan melayangkan tinjunya ke pipiku. Ia lalu menyalakan mesin mobil,
mengendarainya sambil emosi. Sepanjang perjalanan, ia kebut-kebutan sambil
mencaci-maki diriku. Aku berusaha membela diri dan menghindar dari pukulannya,
tetapi gerakan-gerakan tanganku justru semakin memancing emosinya. Aku merasa
bukan lagi manusia.
Saat
mobil Farhan berhenti karena lampu merah, aku langsung berpikir untuk segera
kabur. Secepat mungkin aku membuka kunci pintu mobil, lalu bergegas keluar. Aku
berlari dan meninggalkan pintu mobil yang terbuka lebar. Aku terus berlari
menyusuri deretan mobil, lalu menepi ke trotoar. Aku tak berhenti berlari
sampai kakiku tak kuat lagi untuk berlari.Napasku terengah. Satu-satunya yang
ingin aku hubungi saat ini adalah … mama.
Saat
mendengar suara mama di ponsel, aku langsung menumpahkan tangisku. Hanya itu
yang bisa kulakukan. Suara mama terdengar panik di sana, tapi aku tak bisa
mendengar jelas. Aku hanya ingin menangis.
Sambungan
telepon terputus. Pulsaku habis.
Aku
menyimpan ponsel, menegakkan tubuh, lalu mengusap air mata. Dengan sisa-sisa
ketegaran yang ada, aku memberhentikan taksi yang lewat. Setidaknya aku aman.
Minimal sampai kosan. Farhan bisa datang kapan saja ke kosan dan meluapkan
amarahnya lagi, tapi bisa juga tidak. Terserah. Aku tak lagi mau peduli.
Sesampainya
di kosan, aku langsung masuk ke kamar dan menjatuhkan diri di ranjang. Aku
hanya ingin tidur.
Tok!
Tok! Tok!
Aku
terbangun mendengar suara ketukan di pintu. Dengan mata setengah terbuka, aku
meraba sekeliling bantal dan mencari ponsel. Aku lihat jam yang tertera di
layar : jam satu pagi. Hah? Siapa yang
datang?
Spontan
aku terduduk. Berusaha menenangkan diri dan mencerna suara yang terdengar dari
depan pintu kamar. Seandainya itu Farhan, aku harus menyiapkan apapun untuk
bisa melawannya dengan benda tajam ataupun tumpul.
“Bunga,
ini mama… buka pintunya, sayang …,”
Mama?
Aku
menajamkan pendengaranku. Suara di luar
terus memanggil dengan lembut. Ponselku juga terus berbunyi. Nomor ponsel mama
terus memanggil.
Aku
betul-betul tidak siap bertemu mama. Rambutku berantakan, wajahku lebam, mataku
bengkak karena tidak berhenti menangis. Tubuhku begitu lemah, sepertinya demam.
Tidak, mama tidak boleh melihatku dalam
keadaan seperti ini!
“Buka
pintunya, sayang …,”
Perlahan
aku bangkit, turun dari kasur dan berjalan untuk membukakan pintu. Saat pintu
setengah terbuka, mama langsung memelukku sambil menangis. Kemudian diusapnya
air mataku meski air matanya sendiri terus mengalir dan membasahi wajahnya. Mama
menyusuri luka lebam di pipiku, lalu membelainya pelan untuk memberikan kekuatan.
Mama
menutup pintu kamar, menguncinya, lalu menuntunku ke atas kasur. Perlahan aku
direbahkan, lalu tubuhku diselimuti.
“Ma …,”
ujarku lemah. Mama memberikan kode agar aku diam. Ia tak ingin aku bercerita
apapun. Mungkin luka-luka di tubuhku sudah bercerita lebih banyak. Mama lebih
memilih untuk merawat lukaku dengan obat luar dan mengompres kepalaku dengan
air hangat.
Malam
ini aku terlelap nyaman dalam pelukan mama.
Pagi
berlalu dengan tenang, dan aku terbangun menjelang siang …
Saat
mataku membuka, betapa leganya hanya wajah mama yang aku lihat.
“Ma
...,” panggilku lemah.
“Apa
sayang? Bunga lapar? Mama sudah masak bubur,”
“Tidak
ma, Bunga cuma mau minta maaf sama mama,”
“Minta
maaf untuk apa?”
“Sejak
pertama kali pacaran dengan Farhan, mama sudah tidak setuju dengan hubungan
kami. Aku minta maaf karena ga nurut sama mama,”
“Tidak
apa-apa. Yang berlalu biar berlalu. Yang penting sekarang, bagaimana caranya
Bunga bisa menjauh dari Farhan dan menjalani hidup baru,” ujar mama lembut.
“Papa
tahu, ma?”
“Tidak,
papamu tidak tahu. Biar Bunga dan mama saja yang tahu tentang ini. Pokoknya
mama akan mengurusi kepindahanmu ke Bandung. Kalau sudah baikan nanti, urus
surat pengunduran dirimu dari kantor ya, sayang. Untuk urusan kosan, biar mama
yang urus. Mama akan carikan kamu pekerjaan di Bandung, lengkap dengan kosan
barunya. Pokoknya setelah ini, Bunga akan menjalani hidup yang benar-benar
baru,”
Aku
mengangguk setuju. Kali ini aku tak mau lagi membantah apa yang mama
rencanakan. Aku sudah merasa sangat bersalah pada mama. Ulahku yang dulu tidak
mendengarkan nasehatnya, kini malah merepotkan mama. Farhan ternyata selingkuh
dan kasar. Mama juga yang harus menanggung sakitku, sekaligus kepindahanku.
Bagaimana aku tidak menangis haru, seorang ibu datang jam satu malam hanya
karena khawatir pada anaknya.
***
Satu bulan kemudian,
Saat
membereskan barang-barang di kosan, aku menemukan sebuah album foto yang lama
tersimpan dalam kardus barang bekas. Album foto itu ternyata album foto
kenangan masa kecilku. Hampir saja terbuang, kalau saja aku tidak membukanya.
Album biru, penuh debu, dan sudah usang.
Ku buka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Air
mataku mengalir melihat foto-foto mama setelah melahirkanku. Pucat, gemuk,
tampak kelelahan, dan kesakitan. Tapi senyumnya begitu tulus, begitu bahagia.
Mungkin hadirku adalah hadiah paling manis dari Tuhan ketika itu.
Aku
baru menyadari, cinta pertamaku adalah mama. Sejak Tuhan meniupkan nyawaku ke
dalam rahim mama, saat itulah aku dan mama sudah terhubung. Kami adalah satu.
Hidupku bergantung pada detak jantungnya. Aku makan dari makanannya. Dan aku
nyaman berkat rahimnya yang dibiarkan membesar demi kehidupanku selama 9 bulan.
Saat
melihat dunia pertama kali dan menangis, air susu mama adalah yang pertama kali
menenangkan tangisku. Itulah minuman pertama yang mengenyangkan perutku. Pelukan
hangatnya adalah peluk pertama yang aku alami seumur hidup. Meski aku sudah
bersatu dengannya selama 9 bulan, namun merasakan peluknya pertama kali saat
menyapa dunia, adalah kehangatan tiada tara. Peluknya saat usiaku baru beberapa
menit di dunia, adalah kehangatan yang selalu kurindukan setiap kali merasa
dunia begitu kejam. Ternyata, kehangatan itu, adalah yang selalu kurindukan
setiap kali merasa kesepian.
Ah,
mungkin terlambat memberi predikat cinta pertama kepada mama, setelah
sebelumnya aku merasa bahwa cinta pertamaku adalah Farhan. Meski cinta dengan
mama dan cinta dengan Farhan adalah jenis cinta yang berbeda, tapi bagiku,
cinta pertamaku yang pertama dan utama kini adalah cinta mama.
Cinta
yang tanpa pamrih.
Cinta
yang tulus.
Cinta
yang hanya memberi tanpa memperhitungkan berapa yang kembali.
Cinta
yang menenangkan, bukan mengekang.
Cinta
yang membuatku hidup, dan bertumbuh apa adanya.
Oh Bunda
Ada dan tiada dirimu kan selalu
Ada di dalam hatiku …
Mungkin
harus dengan cara ini, Tuhan menyadarkanku.
*) Ditulis untuk berpartisipasi dalam #30HariLagukuBercerita dengan Tema Cinta Pertama.
Terinspirasi dari lagu Bunda yang diciptakan dan dinyanyikan Melly Goeslaw.
Comments