Blusukan ke Pasar Lama Tangerang
Artikel yang saya posting ini adalah artikel jurnalistik yang dimuat di Majalah Pesona edisi Juni 2013. Foto aslinya yang dimuat di majalah adalah foto dari fotografer Femina Group dan saya tidak punya hak untuk mempublikasikannya di blog ini, maka foto saya ganti dengan foto dari kamera saya sendiri. Jika ingin melihat foto dan artikel aslinya, beli Majalah Pesona yaaa :D
Blusukan ke Pasar Lama Tangerang
‘Pasar
tradisional’ seolah identik dengan suasana becek dan aroma ‘aduhai’. Siapa
sangka Pasar Lama Tangerang justru menyuguhkan hal-hal menarik yang membuat kita
jadi ‘melek sejarah’ dan melupakan becek.
Saya
beruntung mendapat kesempatan mengunjungi Pasar Lama Tangerang bersama
rombongan yang ‘mengerti pasar’, dipimpin oleh Ibu Raeshita Arwati pada akhir April lalu. Sebab, selain bisa mencicipi
beragam kuliner unik, saya juga jadi tahu tentang peninggalan sejarah yang
tersembunyi di setiap pelosok pasar. Melihat klenteng dan masjid tua yang berdekatan,
seolah menjadi simbol kerukunan warga Tangerang sungguh menyejukkan jiwa di
hari Minggu yang cukup terik itu.
Pagi
itu, bus yang kami tumpangi berhenti di pinggir Sungai Cisadane, di pusat Kota
Tangerang. Kami memulai perjalanan dengan menyusuri jalan masuk Pasar Lama
Tangerang menuju kawasan Benteng Heritage untuk menemui Bapak Udaya Halim, pendiri Benteng Heritage yang akan menjadi pemandu kami. Perjalanan bisa dilakukan dengan
berjalan kaki atau menggunakan becak, tetapi rombongan kami memilih jalan kaki
saja.
Klenteng Boen Tek Bio
Tempat pertama yang kami kunjungi
adalah Klenteng Boen Tek Bio yang merupakan klenteng tertua di Tangerang dan
berlokasi di bagian depan pasar, tepatnya di Jalan. Bhakti No. 14. Klenteng ini
konon dibangun sekitar tahun 1750. Warga Tionghoa penghuni perkampungan
Petak Sembilan di daerah Glodok Jakarta Kota secara gotong-royong
mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah klenteng di Tangerang yang kemudian
diberi nama Boen Tek Bio. Bangunan awalnya diperkirakan
masih sederhana sekali, yaitu berupa tiang bambu beratap rumbia. Pada
awal abad ke-19, setelah perdagangan di Tangerang meningkat dan umat klenteng
Boen Tek Bio makin banyak, barulah bangunan tersebut sedikit demi sedikit
direnovasi sampai akhirnya menjadi seperti sekarang.
Kabarnya, dulu Klenteng Boen
Tek Bio mempunyai suatu tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan
tahun, yaitu Gotong Toapekong, tepatnya setiap 12 tahun sekali, saat tiba Tahun
Naga. Selain dimeriahkan dengan arak-arakan dewa-dewi, juga ada pertunjukan
Barongsai dan Wayang Potehi. Sayangnya, pesta meriah ini terakhir
kali diadakan pada tahun 1976, dan setelah itu tidak ada lagi.
Selain Gotong Toapekong, umat
Boen Tek Bio juga rutin menyelenggarakan pesta Petjun yang
diadakan di Kali Cisadane, yaitu perlombaan balap perahu naga.
Perlombaan ini berlangsung sekitar bulan Mei-Juni saat musim kemarau di
saat air sungai jernih dan tenang. Setelah peristiwa G-30S/PKI, tradisi Petjun
ini sempat dilarang pemerintah.
Di
depan gerbang klenteng, terdapat sebuah tempat khusus untuk membakar kertas kim cua, yang dipercaya sebagai persembahan
kepada dewa. Warna merah menyapa saya dari seluruh sudut klenteng, mulai dari
lilin, lampion, sampai batang-batang hio. Sambil mengelilingi sudut-sudut
klenteng, Pak Udaya menyebutkan satu-persatu patung dewa yang terdapat di
klenteng itu, antara lain Dewa Kong Ce Co Su (atau dewa para imigran), Dewa Pen
Houw Ciang Kun, Dewa Thian Siang Seng Bo, dan sebagainya. Semua ruang altar tersebut
mengelilingi sebuah ruang altar utama yang dipersembahkan untuk Dewi Kwan Im,
sang Dewi Welas Asih.
Masjid Kalipasir
Puas
berkeliling klenteng, rombongan kami melanjutkan perjalanan dengan mengelilingi
permukiman penduduk di sekitar Pasar Lama. Ternyata di daerah ini masih banyak
rumah penduduk berupa bangunan tua yang jendelanya masih bernuansa Tionghoa. Ada
pula dinding berhiaskan lukisan Tionghoa dan tanaman-tanaman langka, seperti bunga
anting putri dan bunga kerak nasi.
Terus
menyusuri Jalan Kalipasir, akhirnya kami tiba di sebuah masjid tua bernuansa
hijau-putih. Masjid Kalipasir yang memiliki luas sekitar 16 x 18 meter persegi
itu dibangun pada tahun 1700 Masehi oleh Tumenggung
Pamit Wijaya dari Kahuripan Cirebon. Kini, kondisi masjid sudah mengalami
banyak perubahan. Hanya dua sisi bangunan yang masih utuh dipertahankan, yakni
empat tiang di dalam masjid dan kubah kecil bermotif Cina di atas masjid. Inilah
masjid bernuansa Tionghoa yang terkenal di Tangerang.
Tangga Djamban
Dari Masjid Kalipasir, kami menyusuri tepian Sungai Cisadane. Tak jauh dari mulut Jalan
Kalipasir terdapat sebuah gerbang berwarna merah yang merupakan pintu masuk
menuju sebuah tempat dikenal dengan nama
Tangga Djamban – karena di masa lalu
terdapat sebuah tangga yang menuju ke jamban atau kamar mandi yang berada di
tepi Sungai Cisadane.
Di tempat ini terdapat sebuah altar
kecil yang digunakan untuk pemujaan Toa Pe Kong, dewa penguasa sungai. Di
Tangga Djamban semula terdapat sebuah prasasti beraksara Mandarin yang berisi
daftar nama 81 donatur warga Tionghoa di bawah serikat Boen Tek Bio, yang
memberikan sumbangan dana sebesar 18.156 ringgit Belanda untuk pembangunan
fasilitas di Kota Tangerang pada 1873. Prasasti tersebut diselamatkan oleh
warga, kemudian disumbangkan ke Museum Benteng Heritage.
Jajajan pasar yang unik dan langka
Mengunjungi
Pasar Lama Tangerang tentunya tak lengkap tanpa berbelanja. Yang di jual di
sini lumayan bikin kalap sekaligus takjub. Anda bisa menemukan beragam ‘dagangan
hidup’, seperti kodok, penyu, kepiting, teripang, dan berbagai seafood lainnya. Juga minuman seduh seperti teh rosella yang masih berbentuk daun
utuh kering. Ada pula sayur bunga telur terubuk yang langka, yang langsung
diborong oleh ibu-ibu peserta.
Anda
juga bisa mencicipi beragam jajanan pasar, seperti asinan sayur khas Tangerang,
opak bakar dari ketan yang diguyur kinca, kue doko yang terbuat dari tepung ketan dan kelapa muda, dan masih
banyak lagi. Jangan lupa memborong kecap cap Benteng yang sangat khas dari
Tangerang sebagai oleh-oleh. Saking istimewanya, warga Tangerang konon tidak
mau menggunakan kecap lain selain kecap yang satu ini, lho.
Sarapan di Encim Sukaria
Sebelum
memulai perjalanan wisata ke Pasar Lama Tangerang, saya dan rombongan
menyempatkan diri sarapan di Nasi Uduk & Ketupat Sayur Encim Sukaria, di Jalan
Soleh Ali. Menu andalan tempat yang khusus menyediakan sarapan ini ada tiga,
yakni ketupat sayur, nasi uduk, dan nasi ulam.
Saya
sendiri memesan nasi ulam, yaitu nasi campur berlauk sambal udang rebon, irisan
telur dadar, bihun, kentang rebus, mentimun, dan daun kemangi. Rasanya sangat
gurih dan sungguh membangkitkan selera makan.
Jika
memesan nasi uduk, Anda bisa memilih sendiri lauknya. Yang paling membuat air
liur saya menetes adalah bakwan udang yang gurih dan tebal. Untuk ketupat
sayur, kuahnya terasa pedas dan gurih sekaligus. Masih kurang pedas? Tenang,
tersedia sambal tambahan di meja. Pengunjung warung sarapan ini selalu ramai, jadi
jangan heran bila Anda tak kebagian lagi jika datang lebih dari pukul 9 pagi.
Comments