#5BukuDalamHidupku: Sebut Saja Namaku LUKA
Aku lahir dari rahim pikir seorang perempuan
yang sering terluka dalam hidupnya. Aku lahir saat perempuan itu
sedang menjalani hidup di titik nol, pengangguran, tidak dihargai masyarakat
sebab ia hanya bergantung hidup kepada kekasihnya. Bukannya pemalas, ia hanya
belum mendapat kesempatan untuk menunjukkan talentanya kepada dunia.
Ia pernah ditinggalkan oleh sahabat-sahabat yang
mengkhianati dan memfitnahnya. Ia berkali-kali bertemu lelaki yang salah, yang hanya mempermainkan hatinya. Ia juga pernah berkali-kali diterima bekerja,
namun dengan gaji sangat kecil. Ia bahkan pernah dipecat tanpa sebab jelas. Tapi
beruntung, ia masih memiliki kekasih yang teramat mencintainya, yang mau
mendampinginya sejak menyusun skripsi, hingga dalam pencarian pekerjaan yang
layak. Kekasihnya itu pula lah yang paling rajin membaca tulisan-tulisannya,
lalu memberi saran dan kritik, termasuk memberi saran agar perempuan ini
menulis kumpulan cerpen saja, dari pada novel yang tak kunjung selesai.
Jika ia tak menurut pada kekasihnya, mungkin aku
tak akan pernah ada di dunia. Pelan tapi pasti, perempuan itu menulis satu demi
satu cerita pendek, bentuk fiksi yang belum pernah ia tulis sebelumnya, sebab
ia lebih tertarik menulis novel. Penulis fiksi favoritnya adalah Dewi Lestari.
Resmi jadi penggemar sejak membaca buku pertamanya: Supernova Ksatria, Puteri,
dan Bintang Jatuh. Kekasihnya menghadiahkan sebuah buku kumpulan cerpen karya
Dewi Lestari berjudul Recto Verso. Selain karena tahu bahwa perempuan itu sudah
menunggu kehadiran buku bercover hijau itu, sang kekasih juga menghadiahkan
karena ingin perempuan ini belajar menulis cerpen, yang menurutnya lebih
singkat, lebih mudah selesai.
Pada mulanya, aku berisi 14 cerpen. Itu pun
ternyata masih kurang banyak menurut salah satu penerbit mainstream. Aku
minimal harus berisi 30 kisah. Penulisku, perempuan itu, bersedia menambah
kisah ke dalam diriku, tapi karena akhirnya aku ditolak juga untuk diterbitkan,
niat menambah cerpen itu dibatalkan. Malah, jumlah kisahku dipangkas.
Ya, dari 14 kisah, perempuan itu menghapus 6
kisah lalu menambahkan 3 kisah baru. Alasannya untuk memperbaiki kualitas
diriku, sang janin yang belum juga dilahirkan. Namun bukannya berjuang untuk
mencari penerbit mainstream yang lain, penulisku, perempuan itu, malah memilih
untuk melahirkan aku secara selfpublishing. Saat itu ia terobsesi ingin
mengikuti proyek 99 writers in 9 days. Dan ia berhasil!
Tanggal 8 Oktober 2010, aku resmi lahir. Di
Istora Senayan pula! Luar biasa! Aku lahir bersama 98 buku lain, dari rahim
pikir 98 penulis. Itulah pertama kalinya bagi penulisku, berdiri di depan panggung
dan memegang buku karyanya.
Aku merasakan betapa bahagia dirinya,
memandangku takjub, memelukku, memfoto diriku lalu dipamerkannya di media
sosial. Aku adalah bayi pertamanya yang membanggakan. Aku adalah sisa masa
lalunya yang kemudian membawanya kepada masa depan. Sejak saat itu, penulisku
memang semakin percaya diri untuk menulis, menerbitkan karya, dan berjuang
menembus media untuk bekerja sebagai jurnalis di Jakarta. Ia bukan lagi
perempuan patah hati yang menangisi kepergian kekasihnya, tapi ia saat itu
adalah perempuan yang berhasil mewujudkan mimpinya, meski harus berjuang
sendiran.
Euforia kelahiran diriku memang tidak bertahan
lama. Penulisku tidak pandai marketing, sehingga ia tidak bisa mempromosikan
aku dengan baik. Sedangkan teman-temannya sesama penulis 99 writers in 9 days
sudah menerima royalty setiap 3 bulan karena buku mereka terjual laris.
Penulisku mungkin lupa, aku ini lahir secara mandiri, bukan karena diterbirkan
penerbit mainstream. Pekerjaan besar yang menanti setelah launching tentulah
pemasaran buku.
Awal tahun 2011 pun datang dan tiga bulan
kemudian penulisku, perempuan itu, diterima sebagai jurnalis di sebuah media
dengan oplah terbesar di Indonesia. Ia semakin melupakan aku, dan membiarkan
aku menjadi kebanggaan sesaat. Aku makin tenggelam, lalu mati kehabisan oksigen
sebab tak ada yang merawatku. Aku laksana mumi yang kemudian ditaruh di museum
hati dan pikirnya, untuk dilihat dan dikenang sewaktu-waktu. Aku bukan karya
intelektual yang menarik dirinya untuk diperjuangkan lebih. Penulisku,
perempuan itu, lebih memilih fokus mengejar kariernya di dunia jurnalistik.
Begitulah. Sebut saja namaku LUKA. Berisikan 10
kisah berakhir tragis dan hanya memiliki satu-satunya kisah yang berakhir
bahagia. Meski aku bernasib sama dengan namaku, tapi aku berharap penulisku,
perempuan itu, kelak memiliki satu kisah yang berakhir bahagia seperti satu-satunya
kisah yang ada dalam diriku itu. Satu kisah cinta yang membuatnya bisa lebih
menikmati hidup. Biar aku saja yang bernama LUKA. Biar aku menjadi tempatnya untuk
menuliskan segala kecewa dalam hidupnya di masa lampau. Ia, penulisku,
perempuan itu, haruslah bahagia di masa depannya.
Comments