Angel Lelga dan Keterwakilan Perempuan
Beberapa hari terakhir, media sosial cukup ramai
membincangkan seorang calon anggota legislatif perempuan dari partai PPP yakni AL
Anggreyani (yang lebih dikenal dengan AL – selanjutnya saya sebut AL saja).
Namanya dibicarakan usai muncul di acara Mata Najwa Metro TV. Saya rasa tak
perlu lagi saya ulas di sini apa saja yang membuat perempuan yang belakangan
berkerudung ini kemudian di-bully media massa hingga akhirnya juga muncul di
media-media massa online. Video wawancaranya sudah menyebar di youtube, plus
ulasan-ulasan di berbagai media tersebut.
Yang akan saya sorot di sini adalah soal ancaman keterwakilan
perempuan di parlemen dengan kehadiran caleg seperti AL ini. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD menyebutkan daftar bakal calon
yang disusun partai politik memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan
perempuan. Pasal 56 ayat 2 menyebutkan bahwa dalam setiap 3 orang bakal
calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan. Poin-poin
tersebut dikuatkan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7
Tahun 2013 pada Pasal 11b,11d, 24 ayat 1c-d dan ayat 2.
Aturan ini cukup memberi ruang bagi
perempuan untuk mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Namun yang menjadi soal
adalah bagaimana partai-partai politik merekrut kader perempuan yang kompeten. Memang,
jumlah perempuan yang meraih kursi di parlemen nasional dan lokal pada Pemilu
2009 mengalami kenaikan dibandingkan 2004. Pada periode 2004-2009 ada 63
perempuan anggota parlemen (11,45%) di tingkat nasional. Pada periode 2009-2014
jumlahnya naik menjadi 101 perempuan (17,9%). Namun di tingkat provinsi pada
periode 2009-2014 rata-rata presentase perempuan adalah 16 persen, lebih rendah
dibanding tingkat nasional. Di tingkat kabupaten/kota persentasenya bahkan hanya
12 persen. Ini menunjukkan persentase keterwakilan perempuan masih jauh dari
kuota 30 persen. Bagaimana dengan periode 2014-2019 mendatang?
Dalam seminar publik tentang
representasi politik perempuan: Rancangan UU Kesetaraan dan Keadilan Gender di
Jakarta, Rabu (16/1/2013), Chusnul Mar'iyah, akademisi FISIP UI mengatakan
masyarakat perlu tahu visi-misi setiap partai politik untuk periode 2014-2019.
Apakah masalah-masalah perempuan menjadi bagian dalam program kerja partai
tersebut. Ia menyebutkan, pernah mempelajari program kerja satu partai politik
tertentu dan tidak menemukan satu kata pun yang menyebutkan soal perempuan.
Hal ini membuat saya miris ketika mendengarnya. Bagaimana partai politik bisa serius mencari kader bahkan caleg perempuan yang kompeten, jika masalah perempuan bukan menjadi bagian dari program kerja? Jangan-jangan partai politik mengusung caleg perempuan sekadar untuk memenuhi kuota, bukan betul-betul peduli terhadap masalah perempuan. Sehingga, caleg yang diusung lebih diproritaskan kaum selebritas atau yang sudah terlanjur dikenal masyarakat, tanpa peduli dengan kompetensinya, hanya demi meraup suara.
Hal ini membuat saya miris ketika mendengarnya. Bagaimana partai politik bisa serius mencari kader bahkan caleg perempuan yang kompeten, jika masalah perempuan bukan menjadi bagian dari program kerja? Jangan-jangan partai politik mengusung caleg perempuan sekadar untuk memenuhi kuota, bukan betul-betul peduli terhadap masalah perempuan. Sehingga, caleg yang diusung lebih diproritaskan kaum selebritas atau yang sudah terlanjur dikenal masyarakat, tanpa peduli dengan kompetensinya, hanya demi meraup suara.
Kecurigaan saat sedikit terbukti saat melihat caleg bernama AL ini.
Saat ditanya soal Perda Syariah, ia bahkan tidak memiliki pandangan pribadi.
Soal pandangan partai, wajar lah jika ia menjawab menunggu ungkapan langsung
ketua partainya. Tapi sebagai perempuan, calon anggota legislatif pula,
seharusnya ia punya pandangan pribadi soal perda-perda syariah ini. Apakah ia
setuju atau tidak setuju? Kalau setuju, apa alasannya? Begitu pula sebaliknya.
Jika tidak setuju, apakah ia bisa menjamin tak akan ada perda yang
mengatasnamakan syariah di dapil (daerah pemilihan)-nya nanti, jika ia
terpilih. Pertanyaan Najwa seharusnya merupakan ‘lahan kampanye’ mujarab bagi
AL untuk menyampaikan pandangan politiknya, sikap kritisnya, sehingga
konstituennya merasa perlu menjadikannya “wakil”.
Sayang, AL buta masalah utama yang
dihadapi perempuan Indonesia: tingginya angka kematian ibu, meningkatnya angka
infeksi HIV/AIDS, tingginya pelanggaran HAM terhadap pekerja migran perempuan,
tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga. Ia malah berbicara berputar-putar
soal pertanian, ekonomi, yang tidak jelas fokusnya ke mana. Padahal, jika ia
tahu angka kekerasan rumah tangga di dapilnya saja, mungkin dia bisa terlihat
sedikit cerdas. Atau, misalnya, ia menyorot perda yang diskriminatif terhadap
perempuan di dapilnya (jika ada), mungkin ia bisa mendapat simpati konstituen.
Sayang, perempuan yang mendapat “kehormatan” berada di nomor urut satu
tersebut, benar-benar tidak mengerti posisi strategisnya untuk bisa
memperjuangkan perempuan.
Kalau sudah begini, perempuan juga
yang dirugikan. Yang paling saya takutkan adalah adanya generalisasi bahwa
perempuan tidak mampu berpolitik, jika yang ditampilkan oleh partai adalah
melulu sosok seperti AL. Jika perempuan sudah dianggap tidak layak berpolitik,
maka panggung politik akan kembali diisi oleh laki-laki, dengan
kebijakan-kebijakan yang tidak peka soal gender. Perda-perda yang diskriminatif
terhadap perempuan akan terus ada, tanpa bisa dicegah, karena minimnya
keterwakilan perempuan di pemerintahan. RUU kesetaraan dan keadilan gender akan
semakin lama diketok palu, sebab tidak ada yang merasa perlu memperjuangkannya.
Ramainya perbincangan soal AL
seharusnya menjadi tamparan, tidak hanya bagi partainya tapi juga partai lain
yang melenggang di 2014 untuk memikirkan sistem pengkaderan. Masyarakat
Indonesia saya rasa sudah mulai cerdas. Kesalahan memilih kader bisa jadi akan
menghancurkan kredibilitas partai Anda sendiri.
Soal AL ini sekaligus juga tamparan bagi perempuan-perempuan Indonesia yang merasa kompeten untuk berani maju mencalonkan diri dan memilih partai yang tepat. Rasa percaya diri perempuan bahwa dirinya mampu, juga harus tumbuh agar perempuan berani bicara di ruang publik. Meski ini akan menjadi jalan panjang, tetapi jika bukan Anda-Anda yang bergerak, maka perempuan seperti AL-lah yang akan menggunakan lahan politik yang seharusnya menjadi tempat Anda untuk bersuara.
Soal AL ini sekaligus juga tamparan bagi perempuan-perempuan Indonesia yang merasa kompeten untuk berani maju mencalonkan diri dan memilih partai yang tepat. Rasa percaya diri perempuan bahwa dirinya mampu, juga harus tumbuh agar perempuan berani bicara di ruang publik. Meski ini akan menjadi jalan panjang, tetapi jika bukan Anda-Anda yang bergerak, maka perempuan seperti AL-lah yang akan menggunakan lahan politik yang seharusnya menjadi tempat Anda untuk bersuara.
Comments
Salam dari kami. www.angkringanwarta.com
terima kasih sudah membaca tulisan saya :)