Purnama di Langit Bali*
Apakah
kau melihat langit dan purnama yang sama seperti yang ku lihat?
Itulah pesan yang ku kirimkan
melalui whatsapp kepadanya. Pesannya
sampai dan sudah dibaca, tapi tak dibalas. Aplikasi chatting itu telah merevolusi teknologi pesan singkat. Jika SMS tak
bisa menunjukkan apakah pesan kita sampai atau tidak, dibaca atau tidak, whatsapp sudah sampai tahap itu. Dan
tanda itu jelas menunjukkan bahwa ia membaca, tapi tak membalas. Padahal langit
malam ini begitu cerah. Bulan bulat sempurna. Manusia menyebutnya purnama. Cahaya
bulan memendar ke sekeliling langit sehingga awan berwarna putih seperti siang
hari, padahal sudah hampir tengah malam. Aku beruntung masih terjaga. Ku harap
ia juga. Aku berharap kami memandang langit yang sama.
Aku
berjalan menyusuri pesisir pantai The Bay Bali. Mencari tempat yang paling
nyaman lalu merebahkan diri di pasir. Kepalaku menghadap ke langit. Jari-jari
tangan ku gunakan untuk menopang kepala. Aku memandangi keindahan langit dengan
bulan purnama itu sekali lagi. Seandainya ia ada di sini. Di sisiku.
Langit
begitu cerah dan tenang. Bulan yang bulat sempurna mengingatkanku akan wajahnya
yang juga bulat. Pipinya chubby,
selalu menantang untuk dicubit. Kulit wajahnya putih bersih dan mulus, seolah tak
ada satu pun jerawat yang berani singgah di wajah bulat itu. Rambutnya panjang
sebahu, hitam, pekat, sepekat langit malam, tapi bukan langit malam ini. Deru
ombak yang juga tenang, seolah mendendangkan kerinduan yang syahdu kepada
kekasih. Embusan angin meniupkan namanya begitu lembut di telingaku.
Sudah
satu minggu kami tidak berkomunikasi karena ia marah kepadaku. Aku lupa hari
ulang tahunnya. Ia adalah wanita yang paling peduli pada segala hal yang
berbentuk seremonial. Sewaktu kami pacaran, ia selalu merayakan satu bulanan,
dua bulanan, tiga bulanan, sampai satu tahunan, dan hal itu terulang setelah
kami menikah. Sedangkan aku tipe lelaki yang sangat tidak peduli pada
perayaan-perayaan semacam itu. Jadilah kami selalu bertengkar setiap kali ia
membuat sesuatu untuk merayakan sesuatu. Aku selalu lupa pulang cepat.
Dan
hari itu, seminggu lalu, ia begitu marah kepadaku karena aku pulang larut
malam. Aku terpaksa lembur karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kue
ulang tahun terhidang begitu saja di atas meja ruang tamu saat aku masuk ke
rumah. Aku mencarinya di kamar, di dapur, di ruang keluarga. Ia sudah pergi,
tanpa kabar, dan tak kembali lagi.
Ah,
istriku …
Aku
tidak pernah mengerti mengapa ia begitu menyukai bebek. Bentuk fisik hewan itu
saat masih hidup sudah sangat tidak menarik, ditambah lagi berisik dan sudah
pasti memonopoli jalanan kalau mereka sudah bergerombol. Seolah-olah mereka
adalah putri kecantikan dunia yang sedang melenggak-lenggok di atas runway fashion show. Ditambah lagi, bebek
yang pertama kali ku makan seumur hidup, dagingnya keras sekali (keras atau
kenyal aku tak bisa membedakan karena kesal), sampai-sampai gigiku mau copot
dibuatnya. Tapi entah mengapa ia sangat menyukai daging berwarna cokelat tua
yang kulitnya berkilau itu. Memakannya dengan lahap bersama beragam jenis
sambal yang sudah ia coba di berbagai restoran. Tahun lalu, Ia bahkan pernah
jauh-jauh mengajakku datang ke Bali, hanya untuk makan bebek di Bebek Bengil
The Bay Bali!
“Bebek
itu gurih, jauh lebih gurih dari daging ayam,” katanya. “Kalau ketemu restoran yang
tepat, daging bebeknya pasti tidak begitu kenyal. Kamu betul-betul trauma makan
bebek?” ia bertanya sembari tertawa lepas. Sangat lepas. Membuatku jengkel.
Aku
hanya bisa mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan kekesalan. Melihat
pasangan-pasangan lain yang begitu lahap menyantap bebek bersama. Aku rasa
hanya aku yang tega membiarkan istriku makan sendirian. Tapi ia lebih tega.
Sudah tahu aku tidak suka bebek!
“Nah,
kita sedang berada di restoran yang tepat karena bebeknya empuk dan sambalnya
enak sekali. Bahagia itu sederhana,” ujarnya lalu mengigit daging bebek yang
sudah dicocol sambal. Sebagai lelaki
Sunda, aku sangat menyukai sambal, tapi tidak perlu disantap dengan daging bebek!
Ah,
istriku …
Karena
ia mendiamkanku selama satu minggu, aku langsung terbang dari Jakarta ke Bali.
Aku datangi tempat-tempat yang ia sukai dan aku coba satu persatu makanan yang
ia suka. Makan bebek cabai hijau di Bebek Bengil, makan grilled tuna di Pirates Bay, meski lidahku lebih suka makanan-makanan
yang ada resto Bumbu Nusantara.
Malam
ini, di malam bulan purnama ini, jika ia membalas whatsapp, aku bersumpah akan mentraktirnya makan bebek sepuasnya di
Bebek Bengil The Bay Bali. Aku bersumpah akan ikut makan bersamanya pula. Aku juga
tidak akan lupa lagi tanggal-tanggal penting kami berdua. Aku bersumpah akan
mengikuti segala prosesi seremonial yang ia siapkan. Aku akan lakukan apa pun
yang ia mau.
Tiba-tiba
ponselku berbunyi setelah setengah jam aku memandangi langit dalam keadaan telentang
dengan jemari menyangga kepala. Tanganku mulai keram. Aku angkat tangan kanan
untuk mengambil ponsel di saku celana pendek. Ada Notifikasi whatsapp, dari istriku!
Aku
langsung terduduk.
Iya, aku lihat langit. Indah
sekali ya.
Istriku, kamu di mana?
Tak penting aku di mana.Yang
pasti kita sedang melihat langit dan purnama yang sama malam ini. Indah sekali.
Aku tak pernah melihat yang seindah ini seumur hidupku.
Benarkah?
Iya.
Aku sedang berbaring di pesisir
pantai The Bay Bali. Memandang bulan purnama sambil tiduran di atas pasir
pantai. Romantis. Tapi jadi hampa karena tak ada kamu.
Bukankah kau lebih suka kalau tak
ada aku?
Sayang … maafkan aku … Sampai
kapan mau ngambek?
Ia
tak membalas lagi. Aku kadung bersumpah dalam hati bahwa aku akan mentraktirnya
makan bebek sepuasnya di Bebek Bengil. Aku bersumpah akan ikut makan bersamanya
pula. Aku juga tidak akan lupa lagi tanggal-tanggal penting kami berdua. Aku
bersumpah akan mengikuti segala prosesi seremonial yang ia siapkan. Aku harus
menjalankan sumpahku. Tapi bagaimana bisa ku jalankan kalau ia masih
mendiamkanku begini?
Aku akan memaafkanmu kalau kau ke
Bebek Bengil sekarang.
Ya
ampun, ia seperti punya telepati. Padahal aku hanya mengucapkan sumpah-sumpahku
di dalam hati. Baiklah. Akan ku turuti maunya. Aku akan segera sampai ke Bebek
Bengil, tempat makan favorit istriku itu.
Hanya
butuh 15 menit berjalan kaki dari pesisir pantai ke Bebek Bengil. Tempat makan
ini cukup luas. Aku seperti makan di tengah perkebunan. Ada banyak tempat yang
bisa dipilih untuk bersantap. Bisa di
saung-saung yang terpisah, bisa pula di dalam gedung yang lebih mirip bangunan
pendopo karena tidak ada dindingnya. Pengunjung bisa makan sambil menikmati
alam yang dinikmati secara bebas. Melalui whatsapp,
istriku memberi petunjuk di mana ia duduk. Ternyata ia memilih saung yang lebih
privat. Berada di pojokan. Hatiku berdebar tak karuan. Persis seperti ketika
hendak melamarnya.
“Kamu
sehat?” tanyaku gugup.
Ia
hanya menatapku, antara marah atau manja. Aku sebetulnya suka ekspresi itu.
Ekspresi tiap kali dia pundung (ngambek
-dalam bahasa Sunda). Ekspresi pundung-nya
selalu sukses membuatku ingin memeluknya sambil mencubit pipinya sekaligus.
“Kok
tahu aku ada di Bali?” tanyaku lagi.
Ia
menghela napas berat.
“Aku
tanya ke pembantu di rumah. Akhirnya aku nyusul ke Bali. Aku tahu kamu pasti di
Nusa Dua. Kamu lupa hari ini tanggal berapa?” tanyanya, masih dengan wajah pundung.
Mampus.
Aku hanya ingat bahwa ia sudah satu minggu mendiamkanku. Mana sempat aku
mengingat-ingat ada perayaan apa di hari ini. Wah, sumpahku gagal total. Belum
apa-apa sudah skak mat!
Aku
berusaha mengingat, tapi otakku tidak sanggup menjangkau karena hari-hari
istimewa dalam kepalanya memang tak pernah istimewa dalam kepalaku.
Belum
sempat aku menjawab, pelayan restoran sudah mengantarkan pesanan: bebek cabai
hijau dua porsi lengkap dengan nasinya dan minuman bernama Hanoman yang super
segar. Minuman itu agak kurang cocok dengan
udara malam ini, tapi untuk pendamping makan bebek, bolehlah.
“Makan
dulu. Nanti dilanjut lagi.”
Bisa-bisanya
istriku memotong dialog penyelesaian masalah kami dengan acara makan bebek
bersama. Kadung bersumpah, aku makan juga bebek cabai hijau itu. Entah mengapa malam
ini daging bebek terasa sangat lezat dan empuk. Apalagi bumbu cabai hijau yang
pedasnya pas. Es Hanoman langsung menetralkan lidahku dari kuatnya bumbu.
“Bagaimana
bebeknya?” tanya istriku memulai pembicaraan setelah kami selesai makan.
“Enak
sekali,” jawabku betul-betul jujur.
“Kau
tidak bilang bebeknya enak agar kita baikan, kan?”
“Bebeknya
betul-betul enak. Aku tidak bohong. Tadi saat melihat purnama, aku pun
bersumpah, kalau kau membalas whatsapp
malam ini juga, maka aku akan mentraktirmu makan bebek sepuasnya di Bebek
Bengil. Plus aku pun akan ikut makan. Aku juga akan ingat hari-hari istimewa
kita. Padahal aku tidak mengatakannya kepadamu, tapi kau sepertinya tahu. Apa kau bisa baca
pikiranku, sayang?”
“Kamu
kira aku paranormal? Aku memintamu ke sini karena ingin saja. Aku sama sekali
tak tahu perihal sumpahmu itu.”
“Aku
betul-betul suka bebeknya. Rasanya lain sekali dengan bebek pertama dalam
hidupku yang membuat gigiku sakit dan aku trauma makan bebek bertahun-tahun.
Yang ini berbeda,” tuturku antusias. “Aku janji, sayang. Aku akan menemanimu makan
bebek ke seluruh Indonesia.”
“Aku
hanya ingin makan bebek di Bebek Bengil di The Bay Bali.”
“Kenapa?”
“Karena
di sini tempat pertama kalinya kita bertemu dan kau menyatakan cinta kepadaku.
Waktu itu kita berdua sama-sama diberi tugas liputan dari media yang berbeda.
Kita hanya tiga hari bersama-sama di The Bay Bali, tapi kau sudah jatuh cinta
kepadaku dan menyatakan cintamu. Aku ingat, pertama kalinya kau menyapaku
adalah dengan pertanyaan ‘apa enaknya makan bebek?’ aku tersinggung sekaligus
tertawa. Tapi pembicaraan kita tentang bebek itulah yang membuat kita malah jadi
akrab satu sama lain, dan kau tak ingin melewatkan kesempatan untuk memilikiku.
Malam terakhir tugas kita meliput acara di The Bay Bali, kau memintaku menjadi
kekasihmu. Aku menolakmu dan sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta kita tidak
saling menyapa. Lucu sekali saat itu. Aku menolakmu tapi terus memikirkanku.
Dan, namanya juga jodoh, kita jadi sering bertemu lagi di liputan-liputan
selanjutnya di Jakarta. Sampai setahun kemudian, aku baru menerima cintamu.
Tahun berikutnya kita resmi menikah. Kau begitu sulit mendapatkan aku, tetapi
gigih, itu sebabnya aku mengingat dengan detail, semua tanggal istimewa kita.
Tanggal pertama kita bertemu, tanggal kau menyatakan cinta, tanggal kita
jadian, tanggal kita menikah, dan sebagainya. Buatku itu semua sangat berarti. Sayangnya
kau tak pernah peduli.”
Aku
jadi merasa bersalah.
“Selama
ini kupikir, cinta tidak butuh seremonial. Kau bisa merasakan selebrasi cinta
dariku setiap hari, sebab aku sudah menghujanimu dengan pujian, kata sayang,
dan sudah menunjukkan bahwa aku bisa jadi suami yang bertanggung jawab dan
setia. Aku pikir itu semua cukup. Maafkan aku yang tidak peka. Bahwa ternyata
perempuan membutuhkan sesuatu yang lebih detail.”
“Aku
juga minta maaf karena harus memaksamu mengingat tanggal-tanggal, sementara urusanmu
banyak sekali. Aku egois,” ia menunduk. Aku berharap tak ada cairan bening yang
mengalir di pipinya.
“Tidak,
bukan kamu yang egois, tapi aku. Maafkan aku, sayang …”
“Aku
juga minta maaf. Aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun untukmu.”
Aku
melirik jam tangan. Pukul 01.00 waktu Bali. Sekarang tanggal … astaga! Ulang tahunku
memang satu minggu setelah ulang tahun istriku. Dan aku lupa dua-duanya.
Istriku
mengeluarkan sebuah kado. Aku diminta membukanya. Sebuah jersey, jaket, dan syal Arsenal asli menyapa pandanganku. Aku
sudah mengidamkannya sejak lama. Ada sebuah kartu ucapan di dalamnya.
Aku akan mengizinkanmu nonton
bareng Arsenal dengan teman-temanmu sampai pagi, asal, kau selalu menemaniku
makan bebek dan mulai mengingat tanggal-tanggal istimewa. Satu lagi, kau harus
juga ikut serta dalam setiap seremonial yang ku buat.
Aku
langsung tertawa membaca kata-kata di kartu ucapan itu.
“Apa-apaan
ini? Ngasih kado kok pakai syarat?” ledekku.
“Biarin,”
jawab istriku sambil menjulurkan lidah.
Aku
memeluk istriku. Erat. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Kehangatan tubuh dalam
pelukan sanggup mencairkan gunung es di hati kami yang terbentuk satu minggu
terakhir.
“Terima
kasih, sayang …” bisikku lembut di telinganya. “Sebetulnya tanpa jersey, jaket, dan syal Arsenal pun aku
sudah ingin berubah. Sebab, kehilanganmu satu minggu sudah membuat aku gila.
Maka tadi, saat melihat bulan purnama, aku bersumpah, jika kau membalas whatsapp dan kita memandang purnama
bersama, aku akan menemanimu makan bebek dan mulai mengingat tanggal-tanggal
istimewa,” ujarku jujur.
“Kado
itu sudah kusiapkan jauh hari. Dan kalaupun kau tak mau melakukan apa yang ku
minta, isi kado itu tetap kupersembahkan untukmu. Aku sudah memikirkan untuk
menerimamu apa adanya, meski harus mengorbankan egoku. Tapi, malam ini kau
mengabarkan soal langit dan bulan purnama. Saat aku memandang ke atas, ingin
menangis rasanya. Langit indah sekali dan kita terpisah. Aku dan kamu
menikmatinya sendirian. Aku tidak sanggup. Aku yakin akan lebih banyak lagi
keajaiban alam yang bisa kita nikmati berdua, sepanjang hidup kita. Aku tak mau
hanya karena urusan sepele, aku kehilangan orang yang paling aku cintai, dan
paling mencintaiku. Aku tidak tahan. Maka aku memintamu datang ke sini. Aku
ingin mengucapkan selamat ulang tahun, memberi kado, lalu menyatakan bahwa aku
tak sanggup berpisah denganmu. Tidak sanggup.”
Akhirnya
tangis itu pecah juga. Tapi aku rasa itu adalah tangis haru. Bukan tangis
kecewa. Aku memeluknya sekali lagi. Ia membalas pelukanku dengan mendekapku
lebih erat. Ia menangis bahagia dalam pelukanku.
Dan
aku baru sadar kalau pelayan Bebek Bengil sedang menunggu kami. Ternyata
restorannya mau tutup. Setelah membayar, aku mengajak istriku keluar dari resto
itu dan kembali menyusuri pesisir pantai The Bay Bali. Angin malam semakin
sejuk, atau dingin lebih tepatnya. Aku memakaikan jaketku untuk dikenakan istriku.
Biarlah aku kedinginan, asal ia tetap hangat.
Aku
menggenggam tangannya. Kami menyusuri pantai sambil terus bergenggam tangan.
Saat menemukan tempat yang nyaman, kami berbaring, telentang di pasir sehingga
mata kami bisa menatap langit yang masih membelai Bali dengan Purnama yang
bulat sempurna. Istriku menempelkan kepalanya di bahu kananku. Aku mengusap
pundak kanannya dengan tangan kananku, lalu mencium keningnya.
Malam
itu kami merayakan ulang tahunku dengan memandangi bulan purnama di langit
Bali, dari pesisir pantai The Bay Bali.
Bahagia
itu sederhana.
*) Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek
Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with
The Bay Bali & Get discovered!
Comments