Simbiosa dan Alina yang Tak Sepadan
Saya menulis review ini sambil mendengarkan musik jazz yang
didendangkan Thais Motta, sambil menyesap kopi Toraja dengan dua sendok gula,
di Minggu pagi. Sebetulnya pembukaan ini tidak begitu penting, tapi biarlah
kedua penulis Simbiosa Alina menunggu, dari mana saya akan memulai membahas
buku ini. Saya jadi ingin cerita dulu, bahwa sepanjang membaca buku ini, saya
sudah dua kali kena sial. Pertama, saat menaiki bus, saking asyiknya membaca
buku ini, saya sampai tidak sadar kalau kantor saya sudah terlewat jauh. Saya
pun segera minta diturunkan dan mau tidak mau, berjalan kaki cukup jauh. Kedua,
saat menaiki angkot, sepatu kesayangan saya ketinggalan di angkot karena hilang
fokus (saya terbiasa mengenakan flat shoes dan membawa high heels sebagai
bekal, saat berangkat kerja). Tak perlu lah saya ceritakan berapa harga sepatu
kesayangan itu. Kehilangan sesuatu yang mahal dari segi harga dan bahwa itu
sepatu kesayangan yang baru dipakai tiga kali saja, bisa kalian bayangkan
bagaimana rasanya.
Baiklah, sekian dulu pembukaan yang tidak penting ini. Mari menuju ke review
yang sesungguhnya. Sesuai judulnya, saya pun memulai membaca buku ini dari
cerpen “Simbiosa” dan kemudian cerpen “Alina”. Akhirnya saya memutuskan untuk
menamatkan cerpen-cerpen Pringadi Abdi Surya dulu, baru membaca cerpen-cerpen
Sungging Raga. Sebab saya punya prinsip, dan prinsip ini sering saya pakai saat
makan: “Save the best for the last.” Saya sering makan sesuatu yang tidak
begitu enak dulu, lalu menutupnya dengan makanan yang paling enak. Dan saya pun
akhirnya puas ‘melahap’ buku ini karena menggunakan konsep itu.
Simbiosa Alina (kumpulan cerpen)
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Penulis: Pringadi Abdi Surya dan Sungging Raga
Jumlah halaman: 189 (20 cerpen)
Cerpen-cerpen Pringadi banyak berkutat dengan hal-hal yang ada di
sekelilingnya: matematika, STAN, sepak
bola, kisah cinta monyet saat sekolah, dan gadis-gadis berjilbab lebar. Kecuali
di cerpen "Drama Tiga Babak" yang mengisahkan soal lesbian. Cerpen ini sebetulnya
sudah pernah saya baca di antologi cerpen komunitas DKJ. Dan Cerpen "Mi Querido",
sepertinya pernah saya baca secara online. Bedanya dengan karya-karya Raga,
sebagian besar cerpen Pringadi berkutat tentang cinta platonis dan sebanyak 70 persen (7 cerpen) adalah kisah cinta tak berbalas. Bisa dilihat di cerpen :
- “Alina” (wanita Tionghoa dengan lelaki Palembang anak Da’i).
- “Malimbu” (wanita yang mencari lelaki bergelar Raden dan penghafal Qur’an).
- “Drama Tiga Babak” (perempuan lesbian yang mencintai sahabat wanitanya).
- “Malaikat Purbaya” (lelaki pengidap penyakit parah).
- “Dua Kelopak Krisan” (yang dicintai sudah mencintai orang lain).
- “Teka-Teki Kecil” (yang dicintai ternyata mencintai sahabatnya sendiri).
- “Nyonya Vilda” (yang dicintai sudah menikah dengan lelaki lain).
- “Bait-Bait Hujan” (satu-satunya cerpen Surealis karya Pringadi di buku ini).
Hanya dua cerpen yang berbeda, yakni Malam di Cataluna yang sedikit
berbumbu humor dan Mi Querido yang menceritakan tentang perselingkuhan dan
karakternya psycho.
Mari tinggalkan Pringadi dan kita beralih ke karya-karya Sungging Raga. Jika Pringadi banyak berkisah soal cinta Platonis, Raga lebih banyak mengisahkan cinta Agape.
Bisa dilihat di link berikut: http://surgakata.wordpress.com/2014/03/24/simbiosa-alina/
semua
cerpen Raga di buku ini adalah cerpen-cerpen yang sudah dimuat di Koran.
Sebagai spesialis cerpen Koran Minggu, Raga memang lihai mengolah diksi dan
menciptakan plot. Kisahnya sebetulnya sederhana, tetapi sifatnya yang humoris,
mampu membuat kisah-kisahnya menjadi romantis sekaligus menggemaskan. Mari saya
kutip dialog berikut, dari cerpen “Slania”:
“Asalkan bersamamu, Slania, kita kita tak perlu ke mana-mana lagi.”“Tapi, kadang aku bosan.”
“Besok kubawakan akuarium biar tidak bosan.”
“Aku ingin ke Garahan, makan pecel.”
“Aduh, kamu seperti wanita hamil yang lagi ngidam. Permintaanmu susah-susah.”
“Terus?”
“Kubelikan telur puyuh saja bagaimana?”
Dialog di atas, menunjukkan cinta yang sederhana, tidak perlu
gombalisme penyair bahwa kau secantik bidadari untuk menunjukkan bahwa lelaki
itu menyayangi perempuannya. Pembaca boleh membandingkan dengan cerpen Pringadi
berjudul “Nyonya Vilda” di buku ini. Jika diurutkan, cerpen “Slania” adalah
cerpen favorit saya di buku ini, menduduki peringkat nomor satu. Cerpen ini
berkisah tentang kereta, dan penulis sepertinya sengaja ‘curcol’ dalam dialog
ini:
“Sekarang kereta sangat eksklusif, Slania. Tiketnya susah, mahal, dan aturannya seperti pesawat. Tak lagi berbau kenangan.”
Lalu dialog ini:
“Sekarang kereta semakin megah, Slania. Pakai AC. Dingin seperti jika kamu masuk ke kulkas.”“Dan cinta pun semakin megah.”
“Cinta semakin megah? Maksudnya?”
“Lihatlah anak-anak sekarang, mereka bisa saling mencintai di dunia maya dan nyata sekaligus.”
“Dunia maya? Bagaimana itu?”
“Ah, kamu tidak gaul sih. Makanya, sesekali browsing.”
Tawa saya pun meledak membaca dialog ini. Raga memang humoris. Bisa
dilihat juga dari caranya menulis cerpen “Danau, Perahu, dan Dua Anak Kecil”.
Betapa ‘nakalnya’ Raga menjadi seorang pencerita yang seolah-olah menceritakan
tentang dirinya sendiri yang memiliki kenangan akan danau, tetapi akhirnya ia
membuat kisah fiksi di mana karakter utamanya lah yang menjadi sang pencerita
dan mengisahkan kenangannya di atas perahu, kepada Raga.
Sisi humoris Raga juga muncul di
cerpen “Bangku, Anjing, dan Dua Anak Kecil”. Mari saya kutipkan sedikit:
Sekarang Anjing melihat bangku itu melamun. Tentu saja, sepasang anak kecil yang duduk di atasnya pun akan menghadap ke arah matahari merah yang tak lagi menyilaukan. Dua anak itu tidak akan ke mana-mana lagi, sebab mereka diciptakan dan dikehendaki oleh halusinasi si bangku tua agar selalu berada di sana dan tidak berpindah sedikit pun sampai senja selesai.
Berulang kali membayangkan hal itu, anjing tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lalu di cerpen “Sebungkus Kenangan di Carrow Road” yang membuat saya
tertawa di akhir, dalam paragraf berikut:
Orang-orang mulai pergi, kalian pun beranjak, berjalan beriringan meninggalkan Carrow Road yang berangsur lengang. Dan, sekarang, si gadis tampak malu-malu mengenggam tanganmu. Tapi, hei, tak usah sampai salah tingkah begitu, wajahmu seperti orang yang tidak pernah merasakan genggaman tangan seorang gadis sebelumnya.
Ya, dari 10 cerpen, empat diantaranya adalah cerpen romantis yang
disisipi humor. Tentu saja karya-karya Raga jadi begitu menghibur. Namun, ada
pula cerpen yang betul-betul tragis, di antaranya “Simbiosa”, “Sebatang Pohon
di Loftus Road”, “Senja di Taman Ewood”, dan “Biografi Cartesia”. Empat cerpen tersebut
memiliki ending yang surealis.
Tapi cerpen tragis favorit saya “Pelukis dari St. Mary’s”. Cerpen ini
menduduki peringkat kedua, cerpen favorit saya di buku ini, setelah cerpen “Slania”.
Saya kutipkan sedikit:
Gadis itu seperti simbol terakhir dari apa yang tersisa dari perang: sebuah kesunyian yang menggumpal dan tertahan untuk menyaksikan segalanya. Ia memang hanya sesaat melintasi monumen, memandangi gadis tersebut, lalu pergi. Namun, hal itu sudah cukup membuat jiwanya berkecamuk.
Lalu paragraf ini:
Southampton memang terus melahirkan pelukis-pelukis baru dengan goresan yang penuh semangat seni dari gaya kontemporer hingga klasik. Tapi, tak ada yang tahu siapa pelukis gedung St.Mary’s yang runtuh dengan seorang gadis menghadap ke arahnya. Tidak, bahkan lukisan itu selalu mencengangkan bagi mereka.
Jeda dari kutipan pertama yang saya tulis ke kutipan kedua, adalah
kisah yang mengharukan. Pembaca akan merasakannya saat membaca cerpen ini. Saya
tentu tak boleh menuliskannya di sini, karena jadi berbentuk cerpen utuh nanti.
Beli saja bukunya, ya, lalu buktikan kata-kata saya, hehe …
Sedangkan cerpen terakhir yang akan saya bahas di sini adalah “Sepanjang
Aliran Sungai”. Di sinilah kekuatan Raga sebagai seorang pencerita begitu
menonjol. Ia mengajak pembaca merasakan bagaimana menjadi aliran sungai dan
mengajak pembaca ikut berimajinasi bersamanya. Kebanyakan kisah tentang sungai
yang selama ini saya baca, hanya menjadikan sungai sebagai latar tempat.
Sementara di cerpen ini, pembaca akan menjadi sebatang sungai. Hei, saya agak terganggu
sebetulnya dengan istilah sebatang sungai, yang ditulis Raga di halaman 27.
Tapi saya juga tidak bisa menyarankan istilah yang tepat untuk menggantinya.
Apakah pembaca review ini punya ide?
Untunglah semua cerpen Raga belum pernah saya baca di Koran, sehingga
saya seperti membaca cerpen-cerpen yang sangat baru. Cerpen-cerpen yang
menghibur, menyayat, menggigit, sekaligus melelehkan. Saya merasa beruntung
pula, karena katanya cerpen-cerpen itu juga sudah pernah diupload di blog
pribadinya, setelah dimuat di Koran. Saya beruntung belum pernah membaca
semuanya. Ya, mungkin tak ada yang baru bagi penggemar lama karya-karya
Sungging Raga, tetapi jika dibandingkan dengan penulis lainnya dalam buku ini,
kau, semoga sepakat dengan diriku, bahwa sebaiknya kumcer ini hanya berisi
karya Raga saja.
Jika maksudnya sebagai variasi,
mereka bolehlah mereka berdua disandingkan, sehingga kumcer ini tak monoton.
Apalagi jika kita tahu (dari halaman terakhir tentunya) bahwa usia keduanya
hanya berbeda satu tahun. Mungkin Gramedia ingin menyandingkan dua orang penulis
pemula dengan usia yang tak jauh berbeda, sebagai apresiasi terhadap karya cipta
mereka. Tetapi itu tentu berbeda jika di usia yang sama, Leila Chudori
disandingkan dengan Seno Gumira dalam buku kumcer seperti ini. Pembaca bisa
membaca karya mereka berselang-seling tanpa merasa ada jarak yang cukup jauh
dan tak perlu pakai konsep “Save The Best for The Last.”
Kau tentu tahu maksudku.
Comments