Yang Fana Adalah SDD, Soekram Abadi
Penyair berusia 75 tahun ini rupanya mulai menulis novel.
Tapi ia tak sembarangan. Trilogi Soekram dibuatnya tidak sesederhana plot novel
pada umumnya. SDD membuat tokoh utamanya yang bernama Soekram, keluar dari
cerita dan menggugat sang pengarang. Simak kalimat pembuka novel berikut ini:
Saudara,
Saya Soekram,tokoh sebuah cerita yang ditulis oleh seorang yang meninggal seminggu yang lalu, meninggalkan saya belum selesai. Maksud saya, belum sempat ia menyelesaikan ceritanya ia meninggal dunia. Saudara sempat juga melihat jenazahnya, bukan? Dan di sana Saudara juga ketemu dengan seorang sahabat dekatnya. Mungkin saja ia sambil lalu bicara pada saudara bahwa pengarang itu pernah cerita sedang menyelesaikan sebuah cerita. Dan mungkin sekali juga Saudara hanya mengangguk karena sudah mengetahui hal itu.
Selanjutnya, Soekram bercerita awal mula ia diciptakan, pada
suatu pagi, sekitar pukul tiga. Lalu ia memaksa seseorang yang disapanya
‘Saudara’ itu untuk membuka folder yang diberi nama in edita. Kemudian
muncullah file-file cerita tentang Soekram. Cerita berlanjut tentang Soekram
dan istrinya, tentang Soekram dan Ida, Soekram dan Rosa, dengan latar belakang
peristiwa huru-hara Mei 1998.
Novel ini merupakan gabungan 3 buku tentang Soekram sebelumnya dengan judul:
1. Pengarang Telah Mati
2. Pengarang Belum Mati
3. Pengarang Tak Pernah Mati
Dan SDD sepertinya tidak berniat untuk menjadikannya sebuah novel yang utuh, sehingga kisah bisa meloncat-loncat begitu saja.
Di bagian “Pengarang Belum Mati”, pengarang yang menciptakan
tokoh Soekram ternyata hidup kembali dan menemui sahabatnya untuk menghentikan
ulah Soekram yang mulai membelokkan cerita hidupnya sendiri. Cerita jadi punya
dua versi: versi Soekram dan versi pengarang. Tapi pembaca tidak akan
betul-betul tahu mana cerita yang sesungguhnya, karena baik tokoh pengarang dan
tokoh Soekram, keduanya sama-sama meyakinkan oembaca bahwa kisahnya lah yang
paling benar.
Namun, meski ada dua versi, kisah ini sama-sama memiliki
ending yang menggantung. Ya, tidak ada ujungnya. Tidak ada akhirnya. Bagaimana
akhir kisah Soekram dan istrinya, Soekram dan Ida, Soekram dan Rosa, semuanya
tidak jelas. Apalagi ditambah kisah Soekram dengan Siti Nurbaya. Sebab di akhir
kisah, tetiba Soekram mencintai Nurbaya (setelah mengalami kisah hidup bertemu
Datuk Meringgih –bukan Maringgih yang juga sudah dibelokkan sesuka hati oleh
SDD).
Namun satu hal yang bisa dipetik, bahwa kehidupan pengarang
di dunia nyata sudah pasti akan ada akhirnya. Misalnya kehidupan SDD sendiri,
atau saya sebagai pembaca. Namun Soekram akan abadi jika ia adalah tokoh fiksi,
tokoh rekaan. Maka simak kalimat berikut di akhir buku ini:
Novel ini, bagi saya adalah cara SDD bermain-main dengan
kata-kata, dengan cerita. Pembaca dibiarkan tidak perlu tahu awal dan akhir
kisah Soekram, sebab ia hanya tokoh rekaan. Tidak perlu punya kehidupan lahir
dan mati yang sama dengan manusia pada umumnya. Soekram dibuat bangkit
menggungat sang pengarang, lalu bingung dengan posisinya sendiri yang awalnya
tokoh rekaan, kemudian berubah menjadi pengarang yang menuliskan kisahnya
sendiri, lalu berpikir untuk kembali menjadi tokoh rekaan saja, dengan kisah
yang tak selesai. Membaca novel ini, saya seperti sedang diajari menulis oleh
SDD. Bahwa teknik-teknik menulis novel yang ada itu sudah usang. Carilah teknik
baru, kisah baru yang tak seragam dengan kebanyakan novel, dan jangan manjakan
pembaca dengan ending yang begitu mudah ditebak. Ah, SDD. Pencapaianmu terlalu
tinggi untuk dikejar!
SDD pun ingin abadi dengan menjadi seorang Soekram. Sebab
SDD suatu hari akan mati, sedangkan Soekram tidak.
Soekram bahkan bisa mengejek dengan kata-kata SDD:
Yang fana adalah SDD, saya abadi.
Comments