Hitam Putih Dunia Siti
Pertanyaan pertama saya
ketika menonton film ini adalah: mengapa harus dibuat dalam format hitam putih?
Malam itu saya menonton Siti dalam acara Bamboe Dapur Night di Dapur Film,
sebuah komunitas film di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Sang sutradara,
Eddie Cahyono hadir untuk mengulasnya usai pemutaran film. Tapi sebelum sang
sutradara mengungkap mengapa dibuat dalam format hitam-putih, saya mencoba
memahami sendiri.
Film Terbaik Festival
Film Indonesia (FFI) 2015 ini memang belum pernah diputar di bioskop Indonesia.
Saya sungguh penasaran, apa yang membuatnya memenangkan FFI? Ternyata, Siti
telah ‘jalan-jalan’ lebih dulu ke berbagai festival internasional (dan menang
tentu saja), di antaranya Singapore International Film Festival 2014, Shanghai
International Film Festival 2015, 23rd Filmfest Hamburg, 19th
Toronto Reel Asian International Film Festival 2015, 9th Warsaw Five Flavours Film Festival 2015. Saat ‘pulang
kampung’, sebelum FFI, Siti juga terpilih sebagai Film Fiksi Panjang Terbaik
Apresiasi Film Indonesia yang digelar oleh Pusat Pengembangan Perfilman
Kemendikbud. Saya lagi-lagi penasaran, bagaimana bisa, film hitam-putih,
berbahasa Jawa pula, memenangkan begitu banyak penghargaan?
Film ini menyapa
penonton dengan suasana penggerebekan di sebuah karaoke milik mas Sarko
(diperankan Agus Lemu Radia). Satu persatu pengunjung dan pemandu lagu di
karaoke tersebut digotong ke luar, termasuk seorang perempuan yang disangka
hendak kabur padahal ingin ke kamar kecil. Perempuan itu juga dibawa ke luar.
Saya suka cara sutradara memperkenalkan Siti: satu persatu pengunjung diminta
menunjukkan KTP oleh polisi sambil menyebutkan nama. Saat tiba giliran
perempuan yang ke kamar kecil tadi, perempuan itu diam beberapa lama, kemudian
malah pingsan dan teman-temannya menyerukan: “Siti! Siti!”
Siti –diperankan Sekar
Sari- adalah sosok perempuan yang menikah muda (usia sekitar 24 tahun, telah
memiliki anak yang sudah masuk Sekolah Dasar). Bagas, sang anak, yang diperankan
oleh Bintang Timur adalah anak lelaki yang sangat lucu. Sedikit usil, sering
protes pula kepada ibunya. Adegan Siti berlari mengejar Bagas yang tidak mau
mandi saat akan berangkat sekolah menunjukkan betapa Siti sangat dekat dengan
anaknya, meski sang anak kadang rewel dan sering meracau sendiri. Bagi saya,
Bagas ini hiburan mengasyikkan dalam kelamnya kehidupan Siti.
Adegan demi adegan
menunjukkan betapa Siti adalah ibu yang baik dan istri yang setia. Suaminya,
Bagus (diperankan Ibnu Widodo), lumpuh karena kecelakaan. Namun Siti merawatnya
rutin: membersihkan tubuhnya, menyuapi makanan, hingga mengajak sang suami
bicara meski suaminya ‘mogok’ bicara sejak Siti memutuskan bekerja di tempat
karaoke.
Kesulitan mencari uang
dengan hanya mengandalkan jualan peyek jingking di pantai Parangtritis membuat
Siti harus kembali bekerja di tempat karaoke, meski sebelumnya sempat tutup
akibat tak ada izin. Ditambah lagi, ia harus melunasi hutang suaminya saat
membeli perahu. Siti tak punya pilihan. Ia setia, tapi ia harus bekerja di
tempat karaoke sebagai pemandu lagu, meski menanggung risiko untuk tak hanya
menemani, tapi juga berpotensi disentuh sana-sini oleh pengunjung.
Suaminya tak mau tahu
apa alasan Siti. Baginya tempat karaoke tetap buruk. Terlebih karena
pengunjungnya sudah dipastikan para lelaki. Adegan saat sang suami menatap
tajam Siti yang berganti pakaian saat hendak beranjak kerja, menceritakan
semuanya tanpa perlu ada dialog. Suaminya tetap memilih bungkam, dan baru
bicara di akhir film, mengizinkan istrinya menerima pinangan polisi tampan yang
pernah menggerebek tempat karaoke.
Eddie Cahyono, penulis
skenario sekaligus sutradara film ini mengakui sengaja membuat film dalam
format hitam putih agar penonton tidak fokus kepada latar –semisal pantai Parangtritis.
Tapi bagi saya sebagai penonton, hitam putih juga merupakan simbol, bahwa
kehidupan seseorang sering hanya dinilai dalam hitam atau putih, baik atau
buruk. Kita bisa saja menggeneralisasi kehidupan pemandu lagu di karaoke
sebagai perempuan ‘nakal’, termasuk suami Siti menilai isrinya. Kita kadang tak
mau tahu alasan seseorang memilih jalan hidup seperti itu.
“Ini hidupnya Siti,” ujar Eddy malam itu saat
ditanya mengapa tak menceritakan sedikit kisah para nelayan. Selain itu, untuk mendekatkan kehidupan
Siti dan penonton, rasio gambar diubah dari 16:9 menjadi 4:3. Saya sebagai
penonton jadi ikut merasakan betapa sempitnya kehidupan Siti: dililit hutang,
didiamkan suami, dijaili pengunjung karaoke. Ia gambaran perempuan yang tak
punya pilihan lain dalam hidupnya. Bahkan ketika ada polisi tampan mengajaknya
menikah pun, Siti masih meminta izin kepada suaminya. Ia bukan perempuan yang
dididik untuk dapat menentukan sendiri jalan hidupnya. Ia tidak pernah tahu
bahwa ia adalah manusia bebas yang punya hak untuk memilih: pergi atau
bertahan.
Hanya dalam keadaan mabuk Siti akhirnya dapat melakukan apa
yang benar-benar ingin dilakukannya. “Saya menyiapkan lima ending. Tapi Siti telah menentukan ending-nya sendiri. Saya hanya mengikuti ke mana Siti pergi saat
syuting ending yang akhirnya terpilih
ini,” jelas Eddy. Saya merinding mendengar pengakuan itu. Saya merasakan
embusan passion di situ. Sineas
seperti Eddy mungkin langka di tengah gempuran film-film yang berorientasi
kepada keuntungan materi dalam tuntutan industri film. Saya merasakan jiwa,
film ini soulfull, hidup dalam
caranya yang sederhana.
Ya, di akhir film ini, penonton dibiarkan membuat
interpretasi sendiri tentang keputusan apa yang diambil Siti. Tak ada dialog,
tak ada monolog. Hanya deburan ombak pantai Parangtritis yang menemaninya. Lamanya
durasi ending ini memang memberi
ruang kepada penonton untuk berimajinasi seluas hamparan pantai di hadapan
Siti. Apa yang akan dilakukan Siti? Mari kita jawab masing-masing.
Produser:
Ifa Isfansyah
Produksi:
Fourcolours Films
Sutradara
& penulis skenario: Eddy Cahyono
Pemain:
Sekar Sari
Bintang Timur
Ibnu Widodo
Titi Dibyo (mertua Siti)
Sekar Sari
Bintang Timur
Ibnu Widodo
Titi Dibyo (mertua Siti)
-
Haydar
Saliz (polisi yang mencintai Siti)
Comments